Didiek Purwanto: Supply - Demand Daging Sapi Jelang Lebaran

Didiek Purwanto: Supply - Demand Daging Sapi Jelang Lebaran

Foto: 


Memasuki Bulan Ramadan, umumnya kebutuhan daging sapi di tingkat konsumen mulai meningkat. Terlebih saat mendekati Hari Raya Idulfitri, di mana mayoritas keluarga di Indonesia sedang berkumpul bersama, dan olahan daging selalu menjadi sajian yang dihidangkan di meja makan. Fenomena ini menjadi siklus tiap tahunnya, oleh sebab itu perlu diperhitungkan berapa banyak ketersediaan daging maupun sapi hidup di Indonesia.
 
Guna memetakan kebutuhan daging sapi di Indonesia, khususnya selama Bulan Ramadan dan Hari Raya Idulfitri, pemerintah telah membuat prognosa ketersediaan dan kebutuhan daging sapi/kerbau nasional. Melihat rencana atau prognosa pemerintah dengan kondisi populasi sapi di Gapuspindo (Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia), menunjukkan bahwa tidak ada kendala terkait ketersediaan daging sapi untuk bulan puasa dan lebaran.
 
Adapun stok sapi di anggota Gapuspindo pada awal Maret 2023, kurang lebih sebanyak 120.000 – 128.000 ekor yang setara dengan 23.000 ton daging sapi. Berdasarkan ketersediaannya, secara garis besar itu cukup. Sumber ketersediaan sapi sendiri ada tiga, pertama dari sapi lokal, kedua sapi impor hidup yang dilakukan oleh anggota Gapuspindo, dan ketiga impor daging sapi/kerbau beku. Jika ditelaah dari prognosanya saat diputuskan pada rapat koordinasi lalu, sebetulnya daging lokal itu diperkirakan kurang lebih berperan sekitar 58 %, kemudian impor daging sapi/kerbau kurang lebih 35 %, sisanya sebanyak 7 % bersasal dari impor sapi hidup. 
 
Berdasarkan prognosa pemerintah, kebutuhan daging di bulan puasa dan lebaran  ini mencapai 139.639 ton (Maret & April), sementara total ketersediaannya mencapai 146.786 ton. Dengan melihat ketersediaan dan kebutuhan daging pada Maret dan April, bisa dipastikan untuk lebaran tahun ini cukup. Sebab memang harus diakui bahwa daya beli masyarakat (domestik) usai pandemi Covid-19 (coronavirus disease 2019) kemarin, belum pulih secara menyeluruh.
 
Sebetulnya sapi yang ada di feedlot (penggemukan sapi) itu cukup, walaupun selama 2 tahun terakhir mengalami penurunan jumlah impor. Sebab pada 2022 realisasi impor sapi hidup hanya sekitar 319.360 ekor. Sementara di awal Maret masih ada sekitar 120.000 ekor sapi yang ada di anggota Gapuspindo. Dari situ terlihat, bahwa kebutuhan daging sapi sampai Mei juga masih tidak ada masalah. Pasalnya sapi yang dikandang tersebut yang akan digunakan untuk memenuhi  kebutuhan lebaran sementara sapi yang datang bulan Maret akan  digunakan untuk memenuhi kebutuhan sapi setelah Mei.
 
Menggairahkan Peternak Lokal
Usai hari raya nanti, tentunya akan dilakukan kebijakan sesuai dengan kondisi impor yang dimulai dari sekarang. Prediksinya, untuk sapi hidup tahun ini tidak terlalu berbeda dengan 2 tahun terakhir  sebab rencana pemerintah untuk impor daging kerbau beku India pun cukup banyak. 
 
Ini yang perlu digarisbawahi, bahwa sebetulnya yang harus dipikirkan ke depan adalah bagaimana menstimulasi populasi sapi lokal. Seyogyanya ini dipersiapkan supaya dapat bertumbuh dengan baik. Peternak lokal perlu digairahkan kembali untuk memelihara sapi, dengan keuntungan yang bagus. 
 
Guna menggairahkan kembali peternak lokal, sebaiknya pemerintah dapat mengurangi impor daging beku. Pasalnya, daging beku ini berdampak secara langsung kepada peternak sapi lokal. Sehingga apabila daging sapi lokal diadu dengan daging kerbau beku dari India, maka akan kalah, sebab konsumsi daging kerbau di India tidak terlalu tinggi dan harganya murah, sehingga dagingnya sangat melimpah.
 
Apabila ini terus dilakukan, maka gairah peternak lokal untuk memelihara sapi tidak akan meningkat, karena tidak bisa berkompetisi dengan daging kerbau beku India. Berbeda dengan impor sapi hidup yang mempunyai multiplier effect (efek ganda). secara ekonomis dan industri. Untuk itu, sebaiknya impor daging kerbau beku itu hanya digunakan untuk memenuhi kekurangan, atau bisa digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan industry olahan daging, asal sapi lokal tetap digunakan sebagai tulang punggungnya.
 
Sebagai pendukung berikutnya yakni sapi impor hidup, karena sapi hidup masih dipelihara di Indonesia dan masih banyak melibatkan sumber daya lokal  Indonesia yang dilibatkan, seperti industri pakan, tenaga kerja , transportasi, sumber pakan hasil samping pertanian dan lain-lain, sehingga ada multiplier effect-nya. Sementara daging sapi/kerbau beku tidak terlalu banyak sumber daya lokal yang terlibat, itu sebabnya hanya digunakan sebagai penyambung. Hal yang  saat ini berbeda dari awal pemasukan  daging kerbau beku adalah peredarannya sudah tersebar di mana-mana, berbeda dengan dulu di awal awal hanya digunakan untuk daerah-daerah dengan konsumsi daging sapi yang tinggi, seperti Jabodetabek.
 
Dengan begitu, daging kerbau India secara terang-terangan menjadi kompetitor utama dari sapi-sapi lokal. Daging sapi lokal jika harus dihadapkan dengan daging kerbau beku India, akan kalah bersaing. Ini yang membuat peternak lama-kelamaan tidak tertarik untuk memelihara sapi.
 
Sensus Sapi Pasca-PMK
Setelah merebaknya kasus PMK (penyakit mulut dan kuku) serta LSD (lumpy skin disease), jumlah populasi dan struktur sapi di Indonesia tentunya  berubah. Oleh sebab itu, perlu dilakukan inventarisasi, agar Indonesia mempunyai pijakan untuk menyusun rencana ketersediaan dan kebutuhan daging yang lebih akurat. 
 
Memperhatikan pada Mei 2023 akan ada sensus ternak, maka sensus ini harus dilakukan secara komprehensif, yakni bukan hanya dari jumlahnya, tetapi juga struktur sapinya seperti apa. Struktur sapi itu maksudnya ialah proporsi jantan dan betina dewasanya. Kemudian yang sapi anakan atau pedet berapa, bagaimana penyebarannya, bila memungkinkan dengan daya dukung daerah akan keberadaan ternak, bangsa sapi dan sebagainya. 
 
Dengan begitu, akan memperkaya data untuk mengambil kebijakan pembanguan industri sapi potong setalah pandemi PMK. Sebab pada saat awal terjadi PMK, banyak sapi-sapi yang dipotong paksa, karena sapi-sapi tersebut terinfeksi virus PMK. Sapi-sapi yang dipotong paksa itu bisa saja jantan, betina bahkan betina produktif, yang seharusnya sapi betina produktif tidak boleh dipotong karena untuk meningkatkan populasi sapi. 
 
Pada waktu itu, mungkin peternak berpikir daripada sapinya mati, lebih baik dipotong paksa. Terlebih pada waktu itu hal tersebut agak sulit untuk dikontrol. Dengan adanya kondisi seperti ini, akhirnya struktur sapi dipastikan berubah. Menurut data, sebelum PMK populasi sapi di Indonesia ada sekitar 18 juta ekor. namun pasca-PMK, baik jumlah jantan, betina maupun pedet pasti berubah. Inilah yang harus ditekankan di dalam sensus. 
 
Selain itu, penyebarannya sapinya juga perlu dipetakan, sebab mungkin akan terjadi perubahan. Di mana daerah-daerah produsen seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, NTB (Nusa Tenggara Barat), dan NTT (Nusa Tenggara Timur) harus dilihat lagi bagaimana populasi sapinya. Sebab itu akan menentukan kemampuan suplai nasional dari sapi lokal. 
 
Apabila Indonesia tidak memiliki data ini sebagai baseline (garis dasar), maka akan sulit untuk menyusun cetak biru industri sapi potong. Alhasil, akan sulit pula untuk menentukan prognosa atau supply dan demand sapi lokal, berapa impor, berapa daging beku dan berapa sapi hidup. 
 
Kualitas Daging 
Tahun lalu telah disampaikan oleh Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) bahwa daging sapi yang terkena P tidak akan terpengaruh pada kesehatan manusia. Artinya, PMK ini tidak zoonosis dan dagingnya masih bisa dikonsumsi. Sementara untuk sapi yang terkena LSD, akan berpengaruh pada tampilan dagingnya jika nodul-nodulnya pecah.
 
Orang yang menyembelih sapi yang terkena LSD juga akan berpikir dua kali, atau bahkan tidak tertarik karena sapinya bentol-bentol seperti cacar. Tentu ini akan mempengaruhi harga sapi tersebut juga, dan mungkin orang akan tidak tertarik dengan penampilan sapi yang terjangkit LSD.
 
Untuk itu, kesadaran peternak akan biosekuriti dan vaksin sangatlah diperlukan. Terlebih untuk LSD vektornya adalah insect (serangga), yakni bisa lalat ataupun nyamuk, di mana penyakit ini akan sangat mudah menyerang sapi-sapi yang sehat. Berikutnya ialah pemantauan dan pengawasan lalulintas ternak perlu ditata secara rapih dan intergral`.
 
Biaya Produksi Meningkat
Dengan adanya serangan penyakit PMK dan LSD, maka biosekuriti, sanitasi, vaksin dan obat-obatan sangat ditekankan oleh peternak. Hal ini tentu berpengaruh terhadap harga pokok produksi (HPP) di industri sapi potong. Untuk feedlot sendiri, hal ini tidak menjadi masalah, sebab biosekuritinya bisa terjaga dengan baik, kemudian lokasinya terisolasi, sehingga tidak terkontaminasi dengan sapi-sapi yang dari petani atau masyarakat.
 
Biaya produksi atau HPP di tingkat peternak pasti meningkat, disebabkan oleh pengadaan obat-obatan, vitamin, biosekuriti dan operasional vaksinasi. Oleh karenanya, jika daging sapi lokal diadu dengan daging kerbau beku India di di pasar, maka pasti akan kalah bersaing. Kerugian peternak pun akan semakin bertambah. Pemerintah pelru memperhitungkan kecepatan perpindahan ataupun peredaran virus, di mana ini harus dibarengi dengan kecepatan pengadaan vaksin, distribusi serta vaksinasinya.
 
Blow Up :
Stok sapi di anggota Gapuspindo pada awal Maret 2023, kurang lebih ada 120.000  ekor yang setara dengan 23.000 ton daging sapi. Berdasarkan ketersediaannya, secara garis besar itu cukup. Jika ditelaah dari prognosanya saat diputuskan pada rapat koordinasi lalu, sebetulnya daging lokal itu diperkirakan kurang lebih berperan sekitar 58 %, kemudian impor sapi hidup kurang lebih 7 %, sisanya sebanyak 35 % adalah impor daging beku kerbau India.
 
 
Ketua Gabungan Pelaku Usaha
Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo)
 
 

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain