Menggegas Revisi UU PKH

Menggegas Revisi UU PKH

Foto: Dok. Ramdan


Stakeholderpeternakan nasional dikabarkan sedang bergegas menyusun rencana usulan revisi Undang-undang  No 18/2009 jo UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). Kemanakah arah perubahannya ?

 

Sekretaris Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Makmun, melalui keterangan tertulis mengonfirmasi munculnya semangat merevisi UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan jo UU No 6/2022 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 / 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

 

“Sebenarnya telah banyak usulan (revisi) belakangan ini baik dari akademisi, praktisi maupun asosiasi bidang peternakan dan  kesehatan hewan dengan pertimbangan kebutuhan hukum dan penyesuaian dinamika saat ini,” ungkap dia. Namun dia menepis dugaan penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) pada gugatan terhadap pasal 36E (pengaturan sistem zone based) menjadi salah satu faktor mendorong revisi UU ini. “Bukan salah satu faktor pendorong revisi UU (PKH),” tandasnya.

 

Namun, sebelum proses berjalan lebih jauh, dia telah mewanti-wanti, merevisi UU bukan pekerjaan mudah. Harus banyak mendengar dan menampung pendapat dari masyarakat. “Sikap Kementan saat ini tentu lebih banyak meminta masukan terlebih dahulu aspek mana saja yang perlu diubah sesuai kebutuhan hukumnya. Kalangan profesi maupun asosiasi sudah sepakat untuk melakukan perubahan,” ujarnya.

 

Walaupun demikian, kini belum sampai tahapan melibatkan instansi karena Kementan baru memulai tahap awalnya. Membentuk tim kecil untuk menginventarisasi bagian-bagian yang diusulkan untuk diubah. Kemudian usulan ini ditawarkan untuk disepakati perlunya dilakukan perubahan. Sehingga pada saatnya nanti pasti melibatkan instansi terkait.

 

Lebih lanjut, Makmun menyebutkan, kelanjutan dari revisi UU PKH ini bukan semata-mata soal sepakat atau tidak sepakat. Namun tergantung kesiapan semua pihak untuk mencermati UU PKH dan malakukan tahapan selanjutnya. “Misalnya pada substansi, apakah pasal demi pasal UU PKH saat ini masih relevan. Jika sudah tidak relevan, bagaimana kajian perubahannya. Apakah lembaga eksekutif bersama lembaga legislatif juga telah siap untuk menggelar pembahasan, mengingat sekarang ini berada di tahun politik,” tutur dia.

 

Ditjen PKH pun, menurut dia telah memberikan jalan bagi usulan revisi UU PKH, dengan cara  menggelar focus group discussion (FGD) Revisi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan pada 7 Desember 2023 di Hotel Bidakara – Jakarta, yang dihadiri unsur akademisi dan  asosiasi bidang peternakan dan kesehatan hewan.

 

Diuraikannya, forum itu menghasilkan pandangan umum / garis besar perubahan UU PKH, meliputi sistematika dan substansi. Sistematika UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan telah diubah dengan UU No. 41/2014, kemudian diubah lagi jadi UU No 6/2022, sehingga untuk memahami sistematika pasal demi pasal diperlukan pencermatan lebih lanjut.

 

Selanjutnya, perubahan substansi UU meliputi, pertama perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti digitalisasi dalam subsektor peternakan dan kesehatan hewan. Kedua, persoalan lahan, air, sumberdaya genetik (SDG) hewan ternak, SDM peternakan dan kesehatan hewan dan infrastruktur menjadi isu penting substansi UU ini. Ketiga, pembagian dan penguatan peran dan fungsi organisasi profesi, serta pemerintah daerah dalam pembangunan peternakan dan kesehatan hewan. Keempat, perubahan tata kelola peternakan. Kelima, penguatan pengawasan.

 

Dipaparkan Makmun, UU PKH disahkan pada 4 Juni 2009, selama 14 tahun memandu  pembangunan peternakan dan kesehatan hewan. Dalam kurun waktu tersebut tentu telah banyak perkembangan dunia profesi. “Oleh karena itu substansi kewenangan, peran dan fungsi organisasi profesi merupakan salah satu bagian penting dari substansi revisi UU ini,” tandasnya.

 

Arah Perubahan

Ketua Badan Kejuruan Teknik (BKT) Peternakan, Persatuan Insinyur Indonesia (PII) periode 2018-2023 – Prof Ir Ali Agus menyatakan definisi tentang peternakan pada UU No 41/2014 belum mewakili realitas dunia peternakan. Definisi itu menyebut secara spesifik salah satu jenis ternak, namun meninggalkan penyebutan ternak lainnya. Sehingga seakan-akan belum mengakomodasi jenis ternak lain seperti unggas dan non-ruminansia. “Terlalu sepesifik. Harusnya definisi itu lebih umum dan luwes. Sedangkan perincian detail mengenai peternakan cukup di bahas pada Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah,” ungkapnya saat ditemui TROBOS Livestock di kediamannya akhir Desember 2023 lalu.

 

Mengenai hal ini, Makmun menjelaskan definisi peternakan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 41/2014 yang bunyinya “Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit, bakalan, ternak ruminansia indukan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, pengusahaan, pembiayaan, serta sarana dan prasarana”, telah mengakomodi perunggasan. Contohnya bibit ayam ras dengan klasifikasi GGPS (grand grand parent stocks), GPS (grand parent stocks) atau PS (parent stocks) secara teknis dapat kita katakan sebagai benih. “Tetapi pada prinsipnya manakala suatu definisi sudah dianggap tidak tepat, maka dapat dilakukan redefinisi,” dia mengungkapkan.

 

Ali Agus mengusulkan revisi UU PKH ini perlu mengatur faktor dominan bagi keberlangsungan, keberhasilan dan keberlanjutan peternakan nasional. “Produksi pangan asal ternak perlu 4 faktor dominan yaitu lahan, air, SDG (sumberdaya genetik) ternak, dan SDM (sumberdaya manusia) peternakan. Harus jelas landasan hukumnya, jelas siapa yang mengatur, jelas siapa yang berwenang mengawasi, jelas sanksinya dan siapa yang berkewajiban memberi sanksi,” tandasnya.

 

Disebutkannya, UU PKH harus memuat 4 hal mendasar bagi subsektor peternakan nasional. Pertama, mengakomodasi profesi insinyur dan keinsinyuran peternakan. Kejelasan mengenai hal ini, dapat menyingkirkan area abu-abu yang potensial beririsan antara tugas dan kewenangan insinyur peternakan dengan dokter hewan, porsi keinsinyuran peternakan dengan medik veteriner. “Selama ini, keinsinyuran peternakan sudah memiliki payung hukum pada UU Keinsinyuran No 11/2014. Aturannya ada, pendidikan profesinya ada, SDM insinyurnya ada. Tugas dan kewenangannya secara umum dijamin oleh UU Keinsinyuran. Namun justru belum ada ‘rumah’ yang mengatur tugas dan kewenangannya di UU PKH,” papar Ali Agus.

 

Menurut guru besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada ini, insinyur peternakan adalah profesi yang bertanggungjawab untuk menyusun dan melaksanakan rekayasa produksi protein hewani asal ternak yang berkualitas tinggi bagi masyarakat. Termasuk pengaturan dan rekayasa pengelolaan hasil samping/ikutannya, baik untuk keperluan produksi pangan maupun non pangan.

 

Rekayasa yang dimaksud tidak jauh dari teknokrasi, governance berbasis pengetahuan dan kewenangan profesi sejak dari hulu / penyusunan kebijakan, sampai dengan hilir / implementasi. Pada level industri, kewenangan keinsinyuran peternakan sangat luas, mulai dari hulu industri, sarana/prasarana, produksi ternak, produksi olahan, sampai segmen hilir / konsumsi. Semua rekayasa dan proses itu dilaksanakan dengan mengindahkan keberlanjutan, keamanan pangan, keselamatan kerja, kelestarian lingkungan dan kesejahteraan hewan.

 

Kedua, mengatur penyediaan, perlindungan dan pengaturan lahan dan air bagi peternakan. Lahan peternakan merupakan area tapak bumi / tanah yang didedikasikan untuk peternakan. Diantaranya untuk membangun kawasan produksi, membangun farm, produksi pakan/bahan pakan, dan sumber / penampungan air. “Tatakelola air untuk peternakan ini, perlu diatur secara spesifik, dengan tetap mengacu pada UU Sumberdaya Air,” Ali Agus menerangkan.

 

Ketiga, mengatur dan mengelola sumberdaya genetik (SDG) ternak. Diantaranya untuk keperluan pelestarian atau konservasi dan pemanfaatan SDG ternak. Pemanfaatan SDG ternak diantaranya melalui rekayasa pemuliaan ternak, perbibitan dan perkawinan silang.

 

Keempat, mengatur tanggungjawab dan kewenangan sumberdaya manusia (SDM) peternakan pada penyediaan protein hewani asal ternak. Ali Agus merinci, SDM peternakan nasional setidaknya dipilah menjadi SDM industri peternakan dan SDM birokrasi peternakan. SDM peternakan dalam pemerintahan tersebar mulai dari level penyusun kebijakan, pengambil keputusan, peneliti, sampai kepada petugas teknis (penyuluh, petugas teknis peternakan, dll). “Dari sudut pandang profesi, sosok SDM peternakan ini juga dibagi menjadi SDM yang memiliki kewenangan profesi insinyur peternakan dengan SDM yang tidak memiliki kewenangan namun dapat melaksanakan tugas dengan pengawasan insinyur,” dia memaparkan. Menurutnya, perkembangan ini mutlak  diakomodasi dalam rencana perubahan UU PKH.

 

Peta Perubahan

Pada diskusi publik yang digelar Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Malang, Jawa Timur pada  9 Desember 2023, Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Prof  Suyadi menyatakan sudah berkomunikasi dengan Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) tentang usulan / rencana perubahan UU PKH ini. “Kita sudah punya kewenangan profesi insinyur, bisa ditata bersama-sama. Ini pentingnya pendidikan profesi insinyur peternakan,” ungkap Ketua Tim Perubahan UU PKH, Pengurus Besar Perkumpulan Insinyur dan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI) ini.

 

Diapun menyayangkan, UU PKH lahir dan direvisi sebelum pengesahan UU Keinsinyuran No 11/2014. “Sehingga harus di padukan melalui revisi UU PKH. Dan itu perlu DPR, perlu daya dukung pakar hukum / perundangan, kekuatan politik, dana, dll. Sekarang dalam proses revisi itu, kita lakukan sebaik-baiknya,” tandasnya.

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Livestock edisi 292/ Januari 2024

 
Livestock Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain